Kelahiran mistik Degeumauukago

Pagi itu ,mentari begitu indah di ufuk timur. Suara burung-burung yang merdu membangunan tidur nyenyak para penduduk di sebuah dusun kecil, Kigiya, di pinggiran danau Tigi. Tigi merupakan suatu wilayah yang dikuasai dan didiami oleh suku mee yang memadati sepanjang pengunungan leher burung tanah Papua. Kompleks Kigiya yang rimbun & sejuk karena pohon-pohon yang menjulang tinggi yang ditanam oleh nenek moyng mereka memanjang sepanjang jalan dan menjadi batas-batas bidang tanah antara satu keluarga atau marga dengan yang lain. Satu persatu warga yang menempati Kewita/Emaa (rumah adat orang mee) bangun dari tidur dan memulai aktifitas juga rutinas mereka dengan Doa. Menurut pengalaman penulis yang tinggal di Kewita (Rumah adat perempuan) Doa pagi yang sering dilantungkan seorang ibu di dalam rumah itu dan berdurasi cukup lama dalam kekyusukkan.

Rumah adat yang dibuat dengan arsitektur tradisional mee ini ditempati oleh 2 (dua) orang ibu dan 4 (empat) orang anak. Kedua ibu, Lusia dan Yuliana ukago, keduanya ialah saudara kandung yang dinikahi oleh seorang pria, Degamoye ukago yang adalah kepala rumah tangganya. Lusia berprofesi sebagai seorang nelayan dan petani, yang hari-harinya lebih banyak dihabiskan di Danau dan Kebun. Sedangkan Ibu Yuliana agak berbeda dengan Lusia, dia seorang petani yang dari pagi hingga sore dihabiskan di Kebun. Sedang suaminya adalah seorang yang sederhana, penuh karisma dan pekerja keras yang cukup piwai dalam hal berburu dan berkebun.

Ilutrasi Bayi Perempuan, sumber :https://www.pinterest.de/pin/680254718709855261/

Anak-anak mereka adalah Thobias, Katarina dan Kaitanus yang merupakan anak dari ibu Yulina. Sedangkan Ibu Lusia hanya memiliki seorang anak Perempuan Marta. Kehidupan yang bergitu primitif menjadikan mereka keluarga yang selalu bekerja keras. Motto hidup mereka adalah „hidup untuk kerja dan kerja untuk hidup“.

Keluarga Degamoye adalah keluarga yang cukup demokratis, mereka memutuskan hal-hal yang essensial bersama, sehingga konflik dalam keluarga bisa diminimalisir frekuensinya. misalnya dalam hal membagi tugas mengurus kebun dan ternak. Dalam budaya suku mee, mengurus kebun dan ternak adalah pekerjaan bersama, oleh karena itu pekerjaannya harus dibagi rata kepada semua anggota keluarga.

Degamoye ukago, ayahanda dari Marta ialah sesorang yang hidup dengan multi talenta dan cukup sederhana dalam hidup. Sudah menjadi sebuah kebiasaan dalam tradisi hidup orang mee bahwa semua kaum muda laki-laki sejak masih belia, orang tua wajib mengasah softskill anak, misalnya membuat anak panah, membuat perahu, membuat pagar, berkebun, memabngun rumah, strategi perang dan berburu. Softskill lain yaitu memelihara ternak, misalnya babi hutan (yaa) ataupun ayam (bedoo).

Bagi anak muda dalam kehidupan tradisional suku mee berburu adalah sebuah talenta yang harus diasah. Dia harus diasah langsung dari hutan tempat di mana dia dapat mendemostrasikan kemampuannya, hutan yang jauh dari pemukiman warga dan di gunung yang cukup tinggi biasanya menjadi tempat cukup yang ideal untuk berlatih ketangkasan itu. Sebagaimana filosofi orang Mee tentang hutan, bahwa hutan adalah Ibu. Mereka sangat menghargai hutan, tanah dan air dan segala isinya. Bagi mereka alam dapat memberikan segala sesuatu yang mereka butuhkan. Untuk itu inisiasi dalam bentuk ritualpun tak pelak sering dibuat sebagai tanda terimaksih mereka kepada alam semesta.

Degamoye Ukago sudah sejak belianya membekali diri dengan berbagai kemampuan dan ketangkasan misalnya berburu, berkebun dan berternak. Dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya itu, harapan orang tua Degemoye kala dia kecil adalah dia dapat menghidupi istri dan anaknya kelak. Kehidupannya yang cukup Makmur dan kesederhanaan keluarganya membuat dia cukup puas dengan pencapaian yang dia lewati dan capai.

Dalam budaya modern ketika seorang anak dilahirkan ke dunia dan menjadi anggota baru, maka sudah menjadi keharusan agar acara syukuran dibuat sebagai tanda ucapan syukur kepada sang Kreator ulung Alam Semesta, Tuhan/Allah Yang Maha Besar. Begitu pula juga dalam tradisi kehidupan orang Mee, inisiasi ucapan syukur itu disebut dengan duwapaga/yoka you. Duwapaga adalah istilah yang sering digunakan di daerah seputaran danau Tigi dan Paniai. Sedangkan Yoka youu adalah istilah/kutipan bahasa Mee dari acara syukuran kelahiran anak yang digunakan di wilayah Dogiyai.

Inisiasi ini juga yang sering dilakukan oleh keluarga Degamoye ketika anaknya lahir. Dalam kelahiran anak-anaknya, Degamoye oleh kedua istrinya selalu dilalui dengan peritiwa-peritiwa mistis.

Sebagai seorang pemburu kuskus (Woda), dia selalu berburu kuskus untuk dihidangkan dalam acara pengucapakan syukur anak-anaknya. Dalam hal ini Marta menjadi contohnya, betapa mistinya prosesi lahiran yang dialami oleh Lusia, Ibu dari Marta.

Dua hari sebelum Marta dilahirkan oleh ibunya Lusia, Degamoye bersiap untuk melakukan perjalanan kepegunungan Wikitai untuk berburu. Dia selalu solo/sendiri ketika berburu. Baginya berburu sendiri lebih menyenangkan, dibanding berjalan bersama kolleganya yang lain.

Sore itu, dia datang ke rumah perempuan (kewita) untuk meminta istrinya Lusia dan Yuliana mempersiapkan bekal untuk dimakan dalam perjalan kesana dan untuk seminggu di sana. Dia bercakap,

„selamat malam mama, mama besok saya mau ke wikitai untuk berburu, jadi tolong petatas/ubi (nota) dipersiapakan sesegera mungkin“ lanjutnya,

"esok pagi jam 05.00 saya akan datang ambil”

Lalu Lusia dan yuliana merespon,

“iya besok pagi ambil Bapa”

Benar seperti yang dikatanya itu, dia tidur lebih awal karena dia tahu bahwa besok dia harus melakukan perjalanan yang panjang melewati berbagai gunung dan bukit. Pagi itu dia bangun kira-kira jam 04.00 dan mempersiapakn diri untuk melakukan perjalanan. Anjing berburunya juga diikutsertakan dalam perjalannya kesana.

Pagi jam 05.00 dia tiba di depan pintu rumah kewita (rumah perempuan), dia menyahut sambai mengetok pintu,

’ took took,,,selamat pagi, Mama, mama”

tak satupun suara yang terdengar dari dalam kewita, dua menit berselang suara memantul keluar,

“Bapaa, iyoo sabar ee mama ambil noken dulu”

ternyata mama Yuliana sudah mengetahui apa yang dipinta oleh si Bapa, Ukago degamoye. Mama Yuliana membukakan pintu

”Bapa, ini ubinya, Noken ini untuk makan seminggu di sana dan yang masak ini untuk bekal perjalanan”.

Ternyata kedua istrinya mempersiakan bekal dalam dua noken yang berbeda.

Sudah menjadi tradisi dalam budaya suku mee, ketika kepala keluarga ingin meakukan perjalan jauh dalam rangka bisnis atapun kepentingan lain. Istrinya harus mempersiapkan bekal yang ada untuk digunakan dalam perjalannya.

perjalan hari itu dimulai tepat sesudah kedua noken yang berisi nota itu berada di tangannya. Perjalannya yang cukup melelahkan itu akhirnya berakhir sesudah satu hari satu malam perjalan hingga ke goa (bahasa mee: Biyoo) milik pribadinya sendiri. Dahulu kala Goa adalah tempat yang paling nyaman untuk meletakan kepala sesudah seharian memasang jerat dan melakukan aktivitas perburuan.

Dalam masyarakat mee, mereka percaya bahwa mereka yang sering melakukan pemburuan akan bersahabat dengan para penunggu-penunggu atau penduduk mistik yang hidup di area perburuan mereka, bahkan dengan makluk gaib yang menurut mereka adalah pemilik kuskus yang mendiami daerah itu. Jadi, keberuntungan mereka berburu juga terkadang tergantung dari seberapa kuat kedekatan mereka dengan para penunggu di area pemburuan yang mereka tempati.

Degamoye sendiri sudah begitu cukup dekat dengan Wodaniya (setan Kuskus), begitulah sebutan yang mereka sematkan bagi penunggu kuskus di hutan itu. Dalam proses pemburuan mereka sangat sering sekali berkomunikasi dengan Wodaniya tadi. Misalnya mereka sedang mamasang jerat kuskus, mereka akan disapa oleh si penunggu hutan itu dari arah yang tidak mereka tahu. Berikut ini adalah contoh kasus yang dialami oleh Degamoye ukago pada detik-detik kelahiran anaknya Marta yang dilahirkan di Kigiya-Diyai.

Pagi itu dia bangun pagi sekali dan mempersiapkan sarapan beserta bekal makan dalam aktivitas berburunya. Seusai sarapan pagi dia mulai melakukan aktifitas pemburuan kuskus dengan memasang berbagai jenis jerat di pohon maupun di permukaan tanah. Karena kuskus sering atau banyak ditemukan di pepohonan karena mereka adalah pemakan dedaunan dan biji-bijian. Ketika sedang asyik dengan memasang jerat, suara yang abstrak sumbernya tiba-tiba mencul dari arah yang tidak bisa diduga, suara ini manyahut katanya,

“Degamoyee,,, Degamoyee”

degamoye merespon ”yaa bagaimna ? kamu siapa “

suara misterius ini membalas

“saya yang selalu bersamamu dan datang ke rumahmu (maksudnya goa tempat dia menginap)”

Degamoye memang sering kedatangan tamu tak diundang yang tak terduka yang memang bisa dikatakan orang misterius. Tamu tersebut kehadirannya hanya sebatas suara. Tapi setiap kali dia datang berburu dan menginap di Goa, mereka sering bercakap-cakap layaknya tamu yang sudah sejak lama saling mengenal.

Tamu misterius itu berucap katanya „Dega waee anakmu hari ini lahir“.

Degamoye penasaran bertanya, “anak perempuana atau laki-laki”,

pertanyaan ketidaktahuan ini adalah pertanyaan bahagianya. Si misterius menjawab,

“anakmu yang lahir adalah anak Perempuan, jadi nanti b’ri dia nama untuknya DEGEUMAUUKAGO (bahasa mee :Si putih Ukago)”.

Tanya Degamoye kembali,

„mengapa nama itu harus diberikan kepada anak Perempuanku ?“ lalu Wodauniya menjawab„

karena anak perempuamu berkulit putih berseri“ katanya.

Degamoye menjawab „ baik, akan saya sematkan nama itu untuknya“.

Spontan suara tadi pun menghilang dalam lebatnya hutan pegunungan Wikitai. Sesudah bermalam tiga hari di sana hasil buruannya mencapai empat noken penuh.

Akhirnya ia memutuskan untuk membuat Bakar batu bagi satu noken agar dapat disantap langsung oleh istri dan anaknya sesampainya di rumah. Sedangkan tiga noken lainya dibawa pulang untuk dibuatkan Bakar Batu atau Barapen pada acara syukuran akan perempuan yang baru lahir.

Dia pun mulai bergegas di pagi hari dari Goa di pegunungan wikitai, akhirnya pada sore hari dia tiba di Kigiya, di rumahnya. Ketika dia menyampari rumah kewita dari jauh dia melihat asap rumah kewita meninggi. Penjalaan yang cukup Panjang, namun dia diselimuti kebahagiaan dan kegembiraan. Langkah kakinya pun menjanjaki pintu depan Kewita. Ketika di tengonya kedalam ternyata, sanak saudara dan keluarga lain sudah memenuhi rumah kewita. Mereka, ada yang datang dari jauh dengan membawa datang makanan dan pernak-pernik lain sebagai ungkapan rasa syukur atas lahirnya Marta kecil.

Capeknya Degamoye pun hilang seketika ketika melihat ada bayi kecil di samping mama Lusia, tanpa banyak bertanya dia berucap

“Adow ini siapa ini?”

sambil ´tertawa terbahak-bahak penuh gembira. Tantapanya tak sedikpun dia arahkan ketempat lain. Dia mengamati si mungil yang ada di tangannya dan memberi nama secara spontan katanya,

„sayang anaku DEGEMAU UKAGOUMAU selamat datang di keluarga kami“.

Lalu Mama lusia pun terkejut dengan nama itu, dan langsung bertanya ke Degamoye

“Bapa, siapa yang menginspirasi bapa untuk beri nama itu”.

Degamoye merespon pertanyaan itu katanya

“hari itu ketika Mama melahirkan si mungil ini saya diberitahukan nama itu oleh Wodaniya”.

Mama Lusia pun tersenyum karena, kejadian itu bukan terjadi untuk yang pertama kali. Kejadian yang sama juga sudah pernah terjadi sebelumnya, pada kelahiran dari saudara-saudari kandung Marta yang lain.

Kebahagian merekan pun mereka rayakan dengan membua acara syukuran dengan Kuskus, hasil buruan yang dibawakan oleh Degamoye.

Walaupun Degamoye yang adalah sesorang yang hidupnya penuh keterikatan dengan alam atau punya kedektan dengan dunia mistik, dia selalu memberi masukan kepada istrinya untuk anakya harus diberkati oleh Pastor Katolik setempat dan dipermandikan secara katolik. Ini dikarenakan. Pengaruh belanda melalu para misionaris ketika itu sudah merambah hingga daerah Meewoodide atau yang pada zaman belanda di sebut dengan daerah keresidenan Enarotali, di mana di Diyai sejak 20an tahunan telah didirikan sebuah gereja katolik permanen yang di namai Paroki segala orang kudus Diyai.

Keesokan pagi Mama lusia begerak ke Pastoran Diyai di bukit bitang Pagoya untuk mendapat berkat dari Pastor setempat dan memberi tahu bahwa pada hari minggu mendatang si mungil harus dipermandikan dalam tradisi gereja Katolik Roma.

Sesampainya di pastoran mama Lusia langsung bertemu dengan Pastor Tom Tetero, seorang misionaris OFM dari belanda yang telah tiba di papua dan memulai karya pelayanannya sejak 1939 di Papua. Dia menerima Mama Lusia dan si Mungil. Dia bertanya maksud dan tujuan kedatangan mereka dalam bahasa daerah mee

„mama Lusia selamat siang, bagaimana ada yang saya bisa bantu k?“ tandasnya.

“ benar pastor saya datang ini mau minta berkat buat saya punya anak perempuan ini, dan sekaligus mau tanya kapan anak ini bisa dipermandikan?” jawabanya.

Lalu pastor mengatakan pastor Tom merespon

“ Lalu mama sudah kasih nama dia k belum ?” tanya pastor ke Mama lusia agar Namanya disebutkan dalam doa berkatnya.

Mama Lusia menjawab “ belum Pastor”. Kemudian pastor meminta mama Lusia “kalau begitu kita carikan namnya dulu ya ?”.

Pastor Tom berpikir sejenak mengusulkan untuk memberi Nama Marta

„Mama waee saya kasih nama Marta boleh k ?“

karena Mama Lusia tidak begitu familiar dengan nama-nama Modern yang ada dalam tradisi Katolik, Mama Lusia mengiyakan nama itu katanya

“baik Pastor”.

Lalu pastor memulai inisiasi pemberkatan dengan nama yang sudah disetujui oleh Pastor dan Mama Lusia.

“oke Mama mari saya berkat dia dulu” lanjut si pastor

“ atas nama Bapa dan putra dan Rohkudus, Tuhan terimakasih karena engkau telah menghadirkan Marta kedalam keluarga Lusia dan Degamoye untuk dijaga dan dididik. Tuhan bantu dia dalam perkembangan dan pertumbungan kedepan. Agar semua yang dibuatnya menjadi kesenangamu. Dan berikan rahmat kesabaran dan kekuatan kepada kedua orang tua yang engkau percayakan untuk membesarkan anak ini amin“ .

lalu hining sejenak dan Pastor Tom melanjutkan „ Marta, Aku membabtis kamu dalam nama Bapa dan Putra dan Rohkudus amin“.

Diakhiri dengan tanda salib dan prosesi dan doa pemberkatan anak ini pun diusaikan di situ.

Sebagai Derma/Persembahan kala itu uang tidak sebanyak sekarang, orang hanya mempersembahkan makan yang didapatkan dari hasil kebun. Jadi Mama Lusia juga membawa serta Kuskus serta hasil kebun sebagai persembahan kepada Tuhan yang telah menerima Marta, si mungil ini sebagai anggota kerajaan Allah. Persembahan ini diberikan kepada Pastor Tom.

Marta kecil kemudian pada hari minggu berikut d berkati dan dipermandikan oleh Pastor Tom dan resmi menjadi anggota Gereja Katolik.

>>>Cerita ini diangkat dari Cerita harian Ibu<<<

~~~§ Selesai §~~~

Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : SAVE THE ENVIROMENT OF WEST PAPUA | INFO PAPUA | KNPB NEWS
Copyright © 2011. PAPUA TO OUR WORLD - All Rights Reserved
Template Created by Mr.YOGIX FWP Published by AGUSTINUS GIYAI
Proudly powered by Blogger